Kita maklumi, bahwa
pendidikan merupakan jalan strategis dalam mengembangkan potensi kehidupan
manusia, baik intelegensia, kreativitas, maupun akhlak. Pembentukan karakter
manusia dan keunggulan peradaban bangsa dilakukan melalui jalan pendidikan.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun2003, Bab II, pasal
3 dirumuskan bahwa:
“Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Pendidikan
harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal
balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia dan dengan tabiat tertinggi
dari kosmos, sehingga ada keseimbangan visi untuk meraih kehidupan yang
sejahtera di dunia dan dalam hubungannya dengan Tuhan. Untuk itu madrasah
sebagai institusi pendidikan selalu terlibat secara kritis dalam mengadakan
refleksi tentang dan terhadap lingkungannya, meneliti manfaat tentang ide-ide
manusia sehubungan dengan eksistensi dan kehidupannya, meneliti hubungan manusia
dengan alam semesta, dengan sesamesamedengan zamannya.
Daya
saing madrasah dalam konteks social diuji dengan kesanggupan madrasah dalam
menjawab tuntutan masyarakat terhadap urgensi pendidikan nilai dan moral agama
Islam, sekaligus memainkan perannya guna mempersiapkan tenaga kerja untuk
pembangunan social, ekonomi dan budaya; sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Performance madrasah sebagai institusi pendidikan diharapkan memiliki
komitmen kuat mengembangkan ilmu yang bersifat normatif-transendent dan
berorientasi spiritual, dan pada saat yang sama mengembangkan ilmu pengetahuan
saintis, yang menekankan logika-matematis-analitis-akademik.
Mazhab
filsafat yang mendasari sistem pendidikan Barat adalah humanism yang
mengedepankan asas individualitas. Mereka memutlakan nalar dan menyampingkan
Tuhan dan nilai. Karena nalar adalah relatif dan hanya bisa diterapkan di dalam
kawasan relatif, maka adalah wajar jika kemudian “relativisme” menjadi
konsekwensi logis dari rasionalisme. Dunia “dibebaskan” dari norma agama, dan
digantikan dengan pandangan “relativisme moral”. Tidak ada lagi standar moral,
yang ada hanyalah kebebasan termasuk dalam prilaku seksual, seperti:
homoseksual, lesbian, aborsi, dan lainnya.
Ide
sekular ini kemudian dipaksakan oleh mereka yang berhaluan barat Indonesia.
Mereka menilai bahwa soal agama adalah masalah pribadi, sehingga tidak harus
diajarkan di sekolah. Sistem pendidikan yang dikelola negara, dengan segala
karakteristiknya, meniru barat. Ide persekolahan ala Barat tidak sejalan dengan
budaya Indonesia yang benafaskan agama dan azas kekeluargaan. Dalam kebudayaan
kita diyakini, bahwa segala bentuk ilmu berasal dari dan diarahkan untuk Allah
yang Transendent.
Meskipun demikian,
pesantren dan madrasah sebagai system pendidikan asli Indonesia “dipaksa”
secara sistematik untuk bertransformasi dari system pesantren menjadi sistem sekolah
secara umum yang diberlakukan diseluruh Indonesia. Dampak dari kebijakan
tersebut, madrasah sebagai sekolah berlabel “Islam” menjadi ambivalence. Isi kurikulum madrasah dan
sekolah islam lainnya mengadopsi 100% sama dengan sekolah umum dengan jiwa
sekuler. Perbedaan hanya diperlihatkan secara teknis dengan mengembangkan mata
pelajaran PAI di Madrasah menjadi Al-Qur’an hadits, akidah Akhlak, fiqh, dan
sejarah kebudayaan Islam. Sedangkan factor pembeda sekolah Islam dan sekolah
umum lainnya adalah ada dan tidak adanya mata pelajaran bahasa Arab.
Orientasi pendidikan
madrasah yang semula untuk kepentingan agama (dakwah dan jihad), bergeser
semata-mata untukprofesi dan pekerjaan. Pendidikan tidak lagi diarahkan untuk menghasilkan
manusia kreatif dengan semata intelektual untuk berpikir kontekstual dengan
psiko-sosio-historis dan tantangan masa depan masyarakat lingkungannya.
Pendidikan hanya dianggap sebagai mekanisme “sistem alokasi posisional” dalam
jabatan pemerintahan dan status sosial.
Sumber : Fadlullah. Khazanah Peradaban Islam Nusantara (2016). Jakarta: Tiara Kerta Jaya
Sumber : Fadlullah. Khazanah Peradaban Islam Nusantara (2016). Jakarta: Tiara Kerta Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar