Rabu, 14 Desember 2016

Dilema Pendidikan Islam


Kita maklumi, bahwa pendidikan merupakan jalan strategis dalam mengembangkan potensi kehidupan manusia, baik intelegensia, kreativitas, maupun akhlak. Pembentukan karakter manusia dan keunggulan peradaban bangsa dilakukan melalui jalan pendidikan. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun2003, Bab II, pasal 3 dirumuskan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.  
            Pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos, sehingga ada keseimbangan visi untuk meraih kehidupan yang sejahtera di dunia dan dalam hubungannya dengan Tuhan. Untuk itu madrasah sebagai institusi pendidikan selalu terlibat secara kritis dalam mengadakan refleksi tentang dan terhadap lingkungannya, meneliti manfaat tentang ide-ide manusia sehubungan dengan eksistensi dan kehidupannya, meneliti hubungan manusia dengan alam semesta, dengan sesamesamedengan zamannya.
            Daya saing madrasah dalam konteks social diuji dengan kesanggupan madrasah dalam menjawab tuntutan masyarakat terhadap urgensi pendidikan nilai dan moral agama Islam, sekaligus memainkan perannya guna mempersiapkan tenaga kerja untuk pembangunan social, ekonomi dan budaya; sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Performance madrasah sebagai institusi pendidikan diharapkan memiliki komitmen kuat mengembangkan ilmu yang bersifat normatif-transendent dan berorientasi spiritual, dan pada saat yang sama mengembangkan ilmu pengetahuan saintis, yang menekankan logika-matematis-analitis-akademik.
            Mazhab filsafat yang mendasari sistem pendidikan Barat adalah humanism yang mengedepankan asas individualitas. Mereka memutlakan nalar dan menyampingkan Tuhan dan nilai. Karena nalar adalah relatif dan hanya bisa diterapkan di dalam kawasan relatif, maka adalah wajar jika kemudian “relativisme” menjadi konsekwensi logis dari rasionalisme. Dunia “dibebaskan” dari norma agama, dan digantikan dengan pandangan “relativisme moral”. Tidak ada lagi standar moral, yang ada hanyalah kebebasan termasuk dalam prilaku seksual, seperti: homoseksual, lesbian, aborsi, dan lainnya.
            Ide sekular ini kemudian dipaksakan oleh mereka yang berhaluan barat Indonesia. Mereka menilai bahwa soal agama adalah masalah pribadi, sehingga tidak harus diajarkan di sekolah. Sistem pendidikan yang dikelola negara, dengan segala karakteristiknya, meniru barat. Ide persekolahan ala Barat tidak sejalan dengan budaya Indonesia yang benafaskan agama dan azas kekeluargaan. Dalam kebudayaan kita diyakini, bahwa segala bentuk ilmu berasal dari dan diarahkan untuk Allah yang Transendent.
Meskipun demikian, pesantren dan madrasah sebagai system pendidikan asli Indonesia “dipaksa” secara sistematik untuk bertransformasi dari system pesantren menjadi sistem sekolah secara umum yang diberlakukan diseluruh Indonesia. Dampak dari kebijakan tersebut, madrasah sebagai sekolah berlabel “Islam” menjadi ambivalence. Isi kurikulum madrasah dan sekolah islam lainnya mengadopsi 100% sama dengan sekolah umum dengan jiwa sekuler. Perbedaan hanya diperlihatkan secara teknis dengan mengembangkan mata pelajaran PAI di Madrasah menjadi Al-Qur’an hadits, akidah Akhlak, fiqh, dan sejarah kebudayaan Islam. Sedangkan factor pembeda sekolah Islam dan sekolah umum lainnya adalah ada dan tidak adanya mata pelajaran bahasa Arab.
Orientasi pendidikan madrasah yang semula untuk kepentingan agama (dakwah dan jihad), bergeser semata-mata untukprofesi dan pekerjaan. Pendidikan tidak lagi diarahkan untuk menghasilkan manusia kreatif dengan semata intelektual untuk berpikir kontekstual dengan psiko-sosio-historis dan tantangan masa depan masyarakat lingkungannya. Pendidikan hanya dianggap sebagai mekanisme “sistem alokasi posisional” dalam jabatan pemerintahan dan status sosial.



Sumber : Fadlullah. Khazanah Peradaban Islam Nusantara (2016). Jakarta: Tiara Kerta Jaya
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar