Pada
awal abad ke-20, terjadi perubahan penting dalam sistem pesantren yakni
masuknya system madrasah. Dalam system madrasah penyelenggaraan pendidikan
menerapkan system kelas yang berjenjang, menggunakan papan tulis, meja dan
bangku dan program belajarnya mencakup bidang ilmu yang luas, dengan pelajaran
agama sebagai inti kurikulum, Rintisan model pendidikan madrasah dimulai pada
tahun 1905 dengan berdirinya Madrasah
Mambaul Ulum di Keraton Surakarta.
Model
madrasah Mambaul Ulum tersebut, kemudian diikuti oleh Pesantren Tebuireng,
dengan mendirikan “Madrasah Salafiyah”.
Pada tahun 1916 Kyai Ma’sum, menantu pertama Hadratus-Syekh Hasyim Asy’ari
mengenalkan system madrasah dengan kurikulum pendidikan ilmu-ilmu keislaman
saja; kemudian pada tahun 1919 dikenalkan pengajaran bahasa Melayu-Indonesia,
Matematika, dan Ilmu bumi.
Di
daerah Minangkabau, H. Abdul Karim Amrullah mengembangkan Surau Jembatan Besi –
yang mulanya mengajarkan agama dan studi Al-Qur’an secara tradisional – menjadi
madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Reformasi
Thawalib semakin kuat dengan masuknya H. Abdullah Ahmad dan Haji Rasul sebagai
guru, setelah kembali dari Makkah pada tahun 1904. Reformasi menekankan pada
penguatan pelajaran “ilmu alat”,
berupa kemampuan menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Dalam hal metode,
Haji Rasul memulai “kelas seminar” untuk santri kelas VII tentang soal-soal actual
yang menarik perhatian masyarakat luas, termasuk soal-soal adat.
Pada
tahun 1919, Haji jalaluddin Thaib berjasa dalam mengintrodusir cara-cara
mengajar modern ke dalam Thawalib system kelas, pemakaian bangku dan meja,
penataan kurikulum, dan juga kewajiban pelajar untuk membayar uang sekolah.
Bahan-bahan pelajaran di Thawalib memasukkan kitab-kitab pelajaran dari Mesir.
Respons
yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman
Pondok Modern “Darussalam” Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem
pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah “mata pelajaran umum” ke
dalam kurikulumnya, terutama penguasaan bahasa Inggris dan sejumlah kegiatan
ekstrakulikuler, seperti olahraga, kesenian, dan sebagainya. Bahasa Arab dan
bahasa Inggris diajarkan dan dibiasakan sebagai bahasa komunikasi, bahasa ilmu,
dan pengantar pendidikan.
Di
Banten, pada tahun 1936 Perguruan Islam Al-Khairiyah mendirikan Sekolah Umum
berbasis Pesantren, yaitu Holandch
Inlanch School atau HIS Al-Khairiyah Citangkil, Cilegon. Berdirinya sekolah
ini merupakan tandingan sekolah umum Belanda, untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi rakyat kecil mengenyam pendidikan umum. Dengan kehadiran
HIS Al-Khairiyah, pesantren mulai memperkenalkan orientasi vocasional training dengan mengadakan kursus pidato, bahasa Belanda,
bahasa Inggris, dan mengetik. Dalam proses modernisasi ini pandangan hidup “keduniawian”
semakin menonjol.
Kehadiran
madrasah dalam system pendidikan pesantren merupakan keberhasilan para Kiyai
mengkonsolidasi kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah
dibelanda. Madrasah merupakan proses kreatif yang dipengaruhi oleh gerakan
pembaharuan Muhammad Abduh di Mesir, adaptasi pesantren terhadap sekolah yang dikembangkan
oleh Belanda sekaligus usaha penyempurnaan internal terhadap system pesantren kea
rah suatu system persekolahan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh
kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesempatan kerja dan
perolehan ijazah.
Sumber : Fadlullah. Khazanah Peradaban Islam Nusantara (2016). Jakarta: Tiara Kerta Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar