Rabu, 14 Desember 2016

Pendidikan Islam Pra Kemerdekaan


            Pada awal abad ke-20, terjadi perubahan penting dalam sistem pesantren yakni masuknya system madrasah. Dalam system madrasah penyelenggaraan pendidikan menerapkan system kelas yang berjenjang, menggunakan papan tulis, meja dan bangku dan program belajarnya mencakup bidang ilmu yang luas, dengan pelajaran agama sebagai inti kurikulum, Rintisan model pendidikan madrasah dimulai pada tahun 1905 dengan berdirinya Madrasah Mambaul Ulum di Keraton Surakarta.
            Model madrasah Mambaul Ulum tersebut, kemudian diikuti oleh Pesantren Tebuireng, dengan mendirikan “Madrasah Salafiyah”. Pada tahun 1916 Kyai Ma’sum, menantu pertama Hadratus-Syekh Hasyim Asy’ari mengenalkan system madrasah dengan kurikulum pendidikan ilmu-ilmu keislaman saja; kemudian pada tahun 1919 dikenalkan pengajaran bahasa Melayu-Indonesia, Matematika, dan Ilmu bumi.
            Di daerah Minangkabau, H. Abdul Karim Amrullah mengembangkan Surau Jembatan Besi – yang mulanya mengajarkan agama dan studi Al-Qur’an secara tradisional – menjadi madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Reformasi Thawalib semakin kuat dengan masuknya H. Abdullah Ahmad dan Haji Rasul sebagai guru, setelah kembali dari Makkah pada tahun 1904. Reformasi menekankan pada penguatan pelajaran “ilmu alat”, berupa kemampuan menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Dalam hal metode, Haji Rasul memulai “kelas seminar” untuk santri kelas VII tentang soal-soal actual yang menarik perhatian masyarakat luas, termasuk soal-soal adat.
            Pada tahun 1919, Haji jalaluddin Thaib berjasa dalam mengintrodusir cara-cara mengajar modern ke dalam Thawalib system kelas, pemakaian bangku dan meja, penataan kurikulum, dan juga kewajiban pelajar untuk membayar uang sekolah. Bahan-bahan pelajaran di Thawalib memasukkan kitab-kitab pelajaran dari Mesir.
            Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern “Darussalam” Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah “mata pelajaran umum” ke dalam kurikulumnya, terutama penguasaan bahasa Inggris dan sejumlah kegiatan ekstrakulikuler, seperti olahraga, kesenian, dan sebagainya. Bahasa Arab dan bahasa Inggris diajarkan dan dibiasakan sebagai bahasa komunikasi, bahasa ilmu, dan pengantar pendidikan.
            Di Banten, pada tahun 1936 Perguruan Islam Al-Khairiyah mendirikan Sekolah Umum berbasis Pesantren, yaitu Holandch Inlanch School atau HIS Al-Khairiyah Citangkil, Cilegon. Berdirinya sekolah ini merupakan tandingan sekolah umum Belanda, untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat kecil mengenyam pendidikan umum. Dengan kehadiran HIS Al-Khairiyah, pesantren mulai memperkenalkan orientasi vocasional training dengan mengadakan kursus pidato, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan mengetik. Dalam proses modernisasi ini pandangan hidup “keduniawian” semakin menonjol.
            Kehadiran madrasah dalam system pendidikan pesantren merupakan keberhasilan para Kiyai mengkonsolidasi kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah dibelanda. Madrasah merupakan proses kreatif yang dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Muhammad Abduh di Mesir, adaptasi pesantren terhadap sekolah yang dikembangkan oleh Belanda sekaligus usaha penyempurnaan internal terhadap system pesantren kea rah suatu system persekolahan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesempatan kerja dan perolehan ijazah. 


Sumber : Fadlullah. Khazanah Peradaban Islam Nusantara (2016). Jakarta: Tiara Kerta Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar