Rabu, 21 Desember 2016

SISTEM PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI



Di era globalisasi, Indonesia dituntut untuk melahirkan generasi gnerasi penerus yang brilliant. Setidaknya dapat berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan sistem pengajaran terbaru di tahun 2004. kurikulum Berbasis Kompetensi atau lebih dikenal dengan KBK. Dengan sistem pengajaran baru tersebut, para siswa diharapkan lebih mudah menerima pelajaran. Para siswa tidak hanya mencatat dan mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga dilatih untuk berkompetensi. Mereka dilatih mandiri dengan membentuk kelompok kelompok kecil sesuai pelajaran yang sedang diajark an. Guru hanya memberikan inti permasalahan, mereka yang mendiskusikannya.
Selain KBK, pemerintah juga mengenalkan  pembelajaran terbaru. MIND MAPING. Konsep ini memudahkan siswa untuk mengingat pelajaran. Mind Maping atau peta pikiran dapat dibuat dengan disertai gambar dan warna warna yang menarik, sehingga diharapkan, siswa dapat mencerna pelajaran dengan lebih mudah.
Dalam hal pendidikan bagi siswa, guru memegang peranan penting, di mana mereka memberikan perubahan besar dalam kehidupan seseorang. Melalui proses seleksi pendidikan, pengajaran dan latihan, individu yang tidak tahu apa apa berkembang menjadi pribadi dengan dunia di otaknya. Siswa tumbuh menjadi yang mampu mengklarifikasikan jati dirinya hingga memperoleh posisi profesional yang layak dalam bursa tenaga kerja.
Kurang lebihnya, fakta tersebut yang saya angkat sebagai wacana
Lantas, apa yang akan saya kaitkan dengan fenomena yang terjadi sekarang??. Dari fakta tersebut, pemerintah berupaya memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia dalam hal sistem KBM nya. Namun, apa kebijakan tersebut sudah maksimal?sudah sesuai dengan yang diharapkan?para siswa sudah bisa menyerap pelajaran dengan baik?mungkin iya, tapi aplikasinya ke masyarakat?adahal sekolah adalah tempat di mana setiap individu dididik agar mempunyai moral dan etika yang baik, akhlak yang baik, sehingga berguna bagi agama, masyarakat, dan bangsa. Tengoklah, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan misalnya, dibahas secara lengkap dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas mulai dari hal hal kecil, salam, memotong kuku, hingga tenggang rasa dan toleransi beragama. Tapi kita lihat, apakah segi moral sebagai WNI yang baik dapat kita pertahankan?terkait kita adalah makhluk sosial dan beragama. Atau pelajaran pelajaran tersebut hanya sekedar transfer ilmu?(       Transfer of Knowladge) yang penting kita tahu, paham, dapat menjawab soal ulangan, ujian sekolah 10, selesai. Tapi??kosong, tak berbekas. Mereka tidak mengaplikasikan apa apa yang guru mereka ajarkan.
Padahal idealnya, sebuah proses pendidikan harus mampu mentransfer ilmu dan transfer nilai atau moral (Transfalr of Value).
Apalagi, di sekolah sekolah negeri khususnya di mana pelajaran Agama hanya mendapat porsi 1 jam dalam 1 minggu. Wow, sungguh mengagetkan, negara denglam an bermacam kepercayaan,i mayoritas beragama Islam hanya mendapat jatah 1 jam dalam 1 minggu.
Namun, patutlah kita berbangga, bahwa mulai tahun ini, pendidikan Agamna menjadi Ujian Nasional dan turut menentukan standar kelulusan.
mencoba mengaitkan dengan fenomena yang terjadi sekarang, di mana masyarakat luas khusunya yang beragama islam dapat dikatakan lebih percaya  terhadap SIT, atau Sekolah Islam Terpadu. Di mana dikemas dalam sistem boarding school, atau  SIT mendapat kepercayaan masyarakat untuk menitipkan putra putri mereka di sekolah tersebut. Mulai jenjang pendidikan TK hingga SMA, SIT yang belum lama menjamur di beberapa kota besar di Indonesia terbukti menjadi ‘wadah’ yang berhasil meluluskan siswa siswanya agar berakhlak mulia, tentu dengan konsep islam yang terintegritas dengan pelajaran pelajaran umum lainnya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara tentang tujuan pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai penyokong kodrat alami anak-anak agar mereka dapat mengembangkan kehidupan lahir dan bathinnya menurut kodrat masing-masing. Pengetahuan dan kepandaian bukan tujuan melainkan merupakan alat (perkakas) untuk meraih kematangan jiwa yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci, serta bermanfaat bagi orang lain . Intinya, pendidikan harus berorientasi kepada kematangan –integritas dan kapabilitas- pribadi untuk suatu perubahan sosial dalam masyarakat.
Pendidikan di Sekolah Islam Terpadu mengemban misi menjadi wahana konservasi nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa, diajarkan, dan dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Menjadi wahana dalam membangun, menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, membina, dan mengarahkan potensi dasar (fithrah) anak didik. Menjadi mediator dalam menghantarkan anak didik memasuki zaman, sejarah, dan tantangan yang akan dihadapinya. Dengan tujuan menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, dan mengarahkan anak didik menjadi hamba Allah yang shaleh secara individual dan sosial, serta memberikan kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap terpuji sesuai usia perkembangannya sebagai bekal hidup dan kehidupannya.
Potensi dasar (fithrah) manusia seperti ; potensi intelektual ( fikriyah), emosional (ruhiyah), dan fisik (jasadiyah) merupakan anugerah dari Allah yang perlu ditumbuhkan, dikembangkan, dibina, dan diarahkan dengan baik, benar dan seimbang. Program pendidikan terpadu diharapkan menjadi salah satu sarana untuk menumbuhkan, mengembangkan, membina, dan mengarahkan potensi-potensi dasar yang dimiliki anak didik.
Jadi, tidak dapat disangkal lagi, bahwa pembinaan ruhiyah pada khususnya sangat mempengaruhi kepribadian para siswa, di mana ruhiyah mereka dibina dengan metode metode yang akan mengembalikannya kepada fitrahnya. Sehingga jika saat ini, banyak anak anak yang walaupun sudah mengenyam pendidikan agama di sekolah pun, masih belum dapat menjadi generasi yang diharapkan dalam kemajuan bangsa ini.

Sumber : Sistem Pendidikan Di Era Globalisasi. 2004. Yogyakarta : Jetis Bantul Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar