Hubungan filsafat dan manusia, bahwa kehidupan
manusia dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan, baik yang umum dan harus
segera di atasi karena kesibukan manusia dalam pekerjaan sehari-hari maupun
yang bersifat azasi dalam diri manusia terkait dengan hakikat dirinya sendiri
dan proses interaksi dirinya dengan Tuhan dan alam sekitarnya. Dari
beranekaragam permasalahan itu, yang terbesar mendasar dihadapi oleh manusia
adalah permasalahan tentang dirinya sendiri. Pertanyaan yang fundamental
tentang manusia ialah :
·
Bagaimana
manusia itu
·
Apa
sebabnya demikian
·
Apa itu
sesungguhnya manusia
·
Dari mana
awalnya dan
·
Ke mana
akhirnya
Dari kelima pertanyaan di atas, dua yang depan
dijawab oleh ilmu, sedangkan tiga yang terakhir dijawab dan dibahas oleh
filsafat. Kemudian pertanyaan mengenai diri manusia itu sendiri mengantarkan
kepada bias kontemplasi dalam pertanyaan tentang hakikat alam semesta. Maka
muncul pertanyaan sebagai berikut :
·
Kapankah
alam semesta terjadi
·
Bagaimana
terjadinya alam semesta ini
·
Dari
sumber apa alam semesta ini memperoleh hidupnya
·
Dan
apakah akhir yang dituju dalam gerakan ini
Selanjutnya, pertanyaan tentang alam semesta
ini membawa kepada pemikiran tentang Sang Pencipta manusia dan alam semesta,
misalnya :
·
Apa Ia
suatu pribadi atau bukan pribadi
·
Apa Ia
suatu pribadi, apakah hakikat dan konstitusi sang pribadi itu
·
Apakah Ia
satu pribadi seperti kita secara fisik
·
Apakah Ia
sesuatu proses kerusakan dan kematian atau apakah Ia itu kekal
·
Apakah Ia
itu satu, dua, tiga,, ataukah lebih dari itu
Pertanyaan tentang dirinya sendiri, alam
semesta dan Tuhan akan hadir saat manusia dibebani oleh suatu permasalahan
rumit dan memerlukan pemecahan, yang tentunya agar tercapai kefahaman benar
yang diharapkan bisa menjawab dan memberi permufakatan internal atas
pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya, sehingga filsafat mampu mendorong manusia
untuk :
·
berusaha
mengetahui apa yang telah dketahui dan apa yang belum diketahui
·
berendah
hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahuinya dalam kesemestaan yang
seakan tak terbatas ini
·
mengoreksi
diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya
·
tidak
apatis terhadap lingkungan dan nilai yang berkembang di tengah masyarakatnya
·
selalu
memberikan makna dalam setiap amal perbuatannya
Meskipun jawaban dari para filsuf tidak
terjamin sempurna mampu menjadi jawaban atas pertanyaan yang sama oleh manusia
lain, tetapi filsuf sangat berguna dalam mengantarkan pada pemecahan
permasalahan hidup manusia.
Filsafat lahir dalam diri setiap manusia yang
memandang kehidupannya, sehingga wujud filsafat itu selalu ada, hidup dan
memberi kehidupan bagi manusia. Dalam tiap jawaban terhadap sebuah pertanyaan,
bagi filsuf akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru seterusnya yang tidak
akan berhenti sampai kapanpun jua. Selain itu, pembahasan untuk menyelesaikan
persoalan sehari-hari, manusia selalu dekat dengan pemikiran kaum filsuf, di
mana keterbukaan berpikir dan prosesnya akan selalu terjadi seiring wujudnya
manusia-manusia baru yang lahir pada suatu masa tertentu dengan permasalahan
tertentu pula. Filsafat tidak berhenti meskipun dari kajian ilmu tertentu
sebuah permasalahan dianggap sudah selesai dan terjawab melalui karya seseorang
dengan penemuannya. Seorang filsuf selalu bersifat terbuka, profesional dalam
bidangnya serta harus cerdas menghadapi masyarakat, mampu melihat segala
situasi secara tuntas dan penuh kebijaksanaan.
Dikarenakan filsafat ini membahas sesuatu
secara mendasar dan radikal, maka filsafat ini menjadi sumber dari segala
pemikiran dalam bidang-bidang tertentu yang pada suatu waktu mengemuka adanya
filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat pendidikan dan filsafat kebudayaan
dan lain-lain. Masing-masing konsentrasi pembahasan filsafat membentuk sebuah
atau beberapa cabang ilmu yang dapat diterapkan dalam hidup manusia, baik untuk
menyelesaikan permasalahan hidup sehari-harinya, maupun untuk mengembangkan
proses perjalanan keilmuan baru.
Sebagai contoh, filsafat bahasa memperhatikan
tentang bahasa dan untuk mewujudkan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis,
ringkas dan terbaik yang sesuai dengan fakta dan arti yang disajikan.
Pada bab ini juga dijabarkan tentang sejarah
perkembangan filsafat yang merupakan studi kritis tentang pembentukan dan perkembangan
filsafat dari sejak mula sampai sekarang, dan melintasi masa depan.
Bentuk filsafat yang "tidak memiliki
bentuk" ini menjadikan sejarah tentang filsafat merupakan filsafat itu
sendiri, bukan dalam arti pengetahuan yang sudah ada, tetapi lebih dalam arti
pengetahuan itu sendiri dalam proses menjadi. Dari pengertian ini, bermula
perkembangan para ilmuwan sejarah filsafat lebih mengacu kepada perubahan dan
perkembangan-perkembangan temporal filsafat dari pada isi dan makna filsafat.
Filsafat merupakan percaturan dan pergulatan
manusia dengan masa-masa sebuah sejarah hidup, baik manusia maupun proses alam
semesta ini, maka sejarah filsafat "tidak memikiki sejarah" dalam
arti selalu berkembang sesuai zaman, dan tidak ada kesempurnaan jawaban dari
pertanyaan filsafat. "Jawaban yang merupakan pertanyaan" filsafat
pada masa tertentu bukan sebuah bentuk kebenaran dan kepastian, akan dijadikan
sebagai landasan berpikir kemudian hari. Selama masih ada manusia di alam
semesta ini, selama itu sejarah filsafat bersemi dan berkembang tanpa henti.
Dalam diskusi kritis tentang sejarah filsafat,
tidak diperbolehkan membahas apa yang diungkap manusia pada masa lalu, tetapi
kebenaran apa yang sudah diungkap, untuk dijadikan sebagai topik pembahasan
berikutnya.
Perkembangan filsafat tidak memiliki masa lalu,
masa sekarang dan masa depan, tetapi memiliki fase-fase perkembangan yang dapat
dipetakan berdasarkan belahan masa tertentu, yaitu :
1. Filsafat Klasik atau Kuno, berkembang mulai
dari permulaan antara orang-orang Yunani di pantai Ionia di Asia kecil sampai
pada perwujudan akhirnya dalam Neo-platonisme, termasuk semua bentuk pemikiran
India dan China yang memiliki unsur-unsur berpikir filosofis di bawah suatu
pandangan moralistik atau religius.
2. Zaman Pra-Sokrates, berkembang sebelum masa
Sokrates. Ditandai oleh upaya menemukan prinsip (arche) yang menjadi dasar dari
segala sesuatu yang ada. Meraba prinsip tersebut, Thales (624-562 SM) menyebut
air sebagai azas segala yang ada, Anaximander menyebut yang tak terbatas,
Anaximenes menyebut udara, Heraklitus menyebut api, Pythagoras dan para
pengikutnya membuat studi tentang alam dalam kaitan dengan angka.
3. Zaman para Sofis, berkembang pada masa
Protagoras (480-410 SM) sebagai pendiri. Tampil juga Sokrates, Plato,
Aristoteles dan semua pengikut mereka dikenal sebagai neoplatonisme, di mana
pada saat itu pikiran manusia sudah mulai terarah pada manusia, relasi antar
manusia dan relasi manusia dengan alam dan manusia lain.
4. Abad Pertengahan dan Skolastisisme, dimulai
pada sekitar 500 M sampai 1500 M. Pada masa Agustinus (354-430 M) sampai tahun
1000 M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi. Kemudian pada
abad 11 ditandai tumbuhnya pendidikan dan perguruan-perguruan khusus. Pada abad
12 ditandai oleh tumbuhnya universitas-universitas. Puncak perkembangan sejarah
filsafat abad pertengahan bersinar pada abad 13, ditandai oleh karya-karya
besar para filsuf seperti Roger Bacon (1214-1293 M), Bonaventura (1217-1274 M),
Albertus Agung (1206-1280 M), dan Thomas Aquinas (1224-1274 M). Zaman ini juga
disebut Skolastisisme puncak. Salah satu perbedaan filsafat Yunani-Romawi
dengan abad pertengahan ialah para pemikir Kristen abad pertengahan percaya
akan suatu relevasi Ilahi yang definitif. Relevasi Ilahi ini terkutip dalam
kitab suci dan diyakini sebagai kebenaran yang pasti. Ciri khas pada masa ini
adalah relasi iman dan akal budi manusia.
5. Zaman Renaisans, pada abad 16. Zaman ini juga
disebut sebagai zaman kebangkitan, dengan munculnya peristiwa sebagai berikut;
1) adanya usaha menghidupkan kembali karya-karya seni rupa dan sastra, filsafat
dan pelbagai aspek lain dari kebudayaan Yunani-Romawi kuno, 2) banyaknya ilmu
modern dan penemuan dunia baru yang mengindikasikan kemampuan manusia menguasai
alam semakin besar, menguatkan gerakan humanisme baru yang mempengaruhi eropa,
3) berseminya gerakan reformasi dan kontra reformasi. Kalau Renaisans kembali
pada keaslian ilham kebudayaan kuno dan humanisme kepada keistimewaan dan
kebesaran manusia, memperbaharui kepercayaan kristiani yang dianggap merosot.
Pada zaman ini, muncul Nicolo Machiavelli (1469-1527 M) dan Giordano Bruno,
yang berbicara banyak tentang kuasa dan manajemen politik manusia dan
memperoleh suatu filsafat politik yang relevan dan ditata secara moralis. Bruno
mengajarkan suatu Pantheisme yang mengungkap keinginan untuk memperhatikan dan
menyatukan diri dengan alam/kosmos.
6. Filsafat Barat Modern, dimulai dengan Rene
Descrates di Perancis dan Francis Bacon di Inggris, dengan karakteristik
sebagai berikut; 1) tumbuh dalam konteks faktor-faktor kultural dan nasional
modern, 2) secara intensif menggunakan bahasa-bahasa daerah setempat dan
mengembangkan vokabuler teknis filosofis dalam tiap wilayah linguistik, 3)
sangat kuat dipengaruhi oleh metode, konsep, dan persoalan-persoalan yang
nampak dalam ilmu-ilmu fisis dan biologis, 4) pelan-pelan memisahkan diri dari
kerangka teologis, 5) kesadaran historis dengan meminati pada persoalan
genetika dan historisitas manusia. Sebagai perbandingan saja, zaman klasik
diisi filsuf yang mencari prinsip-prinsip dasar kosmos (cosmosentris), abad
pertengahan berkutat pada filsafat ketuhanan (teosentris), maka pada masa ini
konsentrasi pada antroposentris, yaitu segala sesuatu berpusat dan bermuara
dari dalam diri manusia sendiri. Penampakan manusia sebagai subyek aktif yang
menjadi aktor penguasa utama dalam perjalanan hidup di alam semesta ini
merupakan tema pemikiran filsuf zaman ini.
7. Filsafat Kontemporer atau Filsafat Abad 20,
ditandai dengan munculnya berbagai aliran berpikir dan madzab filsafat, sehingga
sering timbul persilangan pendapat. Filsuf pada adab ini dipenuhi personil
profesionalis dalam bidang matematika, fisika, sosiologi, ekonomi, psikologi
dan lain-lain. Ciri khusus filsafat zaman ini adalah desentralisasi manusia, di
mana manusia ditempatkan menjadi bahasa sebagai subyek kenyataan. Manusia
diambil alih perannya oleh bahasa, sehingga manusia tidak lagi berbicara
sendiri tetapi dibicarakan melalui bahasa politik, ekonomi dan sosial.
a.
Filsafat
abad 20 di Perancis, ditandai adanya peristiwa di mana filsafat dipelajari
mulai sejak sekolah menengah atas, tidak di universitas seperti negara-negara
lain, sehingga banyak filsuf dan ilmuwan terkemuka berasal dari negara ini.
Keadaan ini berubah sejak tahun 1970, di mana filsafat mulai kurang diperhatikan
dan jam pelajarannya semakin dikurangi. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa filsafat dianggap idealistis-rasionalistis, dan lain sebagianya.
b.
Filsafat
abad 20 di Inggris dan Jerman. Pada abad ini, filsafat idealisme berkembang
pesat di Inggris. Filsafat Hegel berkembang kuat di Inggris, sementara pada
saat yang sama mulai pudar di Jerman, sehingga disebut sebagai filsafat
Neo-Hegelisme. Filsafat Idealisme muncul sebagai reaksi atas materialisme dan
positivisme yang sangat menguasai eropa pada saat itu. Filsuf yang berpengaruh
di Inggris saat itu, Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M) dikenal sebagai penemu
permainan bahasa dan Alfred Jules (1910-1989) memunculkan filsafat bahasa atau
filsafat analitik dengan ajarannya tentang positivisme logis. Di Jerman, muncul
ajaran filsafat Neo-kantianisme, fenomenologi, filsafat eksistensi,
positivisme, historisisme, dan filsafat dialogis. Neo-kantianisme mengarahkan
manusia untuk selalu mengkritisi pengetahuan, dengan mengutamakan akal praktis
daripada akal teoretis. Di samping itu, di Jerman juga tumbuh subur filsafat
yang menekankan tentang hidup, dikembangkan oleh Wilhelm Ditlhey (1833-1911 M).
Pada masa ini juga lahir suatu aliran filsafat dinamakan Fenemenologi yang
didasari oleh Edmund Husserl (1859-1938 M), yang menegaskan peran realitas dan
bagaimana kita membiarkan gejala dalam realitas membuka diri kepada subyek atau
manipulasi data inderawi yang kita peroleh dari realitas. Filsafat
Eksistensialisme menjadi populer pada abad 20. Muncul juga Frans Rosenzweig
(1886-1929 M) yang melahirkan filsafat dialogis yang menekankan peran
pengalaman bukan inderawi, yaitu pengalaman bertemu dengan Allah, dengan dunia
dan sesama manusia. Warna filsafat neopositivisme kental menguasai Jerman pada
abad 20 ini, dipelopori oleh tokoh-tokoh di antaranya Rudolp Carnap, Otto
Neurath, Moritz Schlick, Hans Han dan Karl Popper. Filsafat lain yang mengakar
adalah analisis-logis menyangkut filsafat bahasa.
c.
Filsafat
di Amerika Utara, muncul bersamaan dengan pengaruh pemikiran evolusioner. Pada
zaman ini muncul aliran pragmatisme yang menekankan kebenaran pada aspek
praktis dan aspek guna, dipopulerkan oleh William James (1842-1910) yang
mengklaim bahwa universum yang pluralistik dan milioristik lengkap dengan suatu
Allah yang sedang dalam proses perkembangan, tidak hanya lebih merangsang bagi
perasaan moral manusia, tetapi juga lebih dekat pada kebenaran tentang adanya.
Kesulitan mempertemukan pemuasan dengan pembenaran ide-ide tanpa kembali kepada
kemutlakan idealistik dari James, memunculkan aliran naturalisme. Pandangan ini
disampaikan oleh George Santayana, bahwa segala sesuatu yang ideal memiliki
basis yang riil dalam dunia material yang natural dan segala sesuatu yang riil
memiliki suatu modus ideal pemenuhan dalam tata imaginasi. Santayana memandang
bahwa roh manusia sebagai suatu tindakan yang tetap, suatu transisi dari materi
kepada imaginasi dan kembali lagi kepada materi, dan mereduksikan agama sebagai
suatu saringan pelbagai aspirasi lewat permainan imaginasi. Tokoh lain, John
Dewey mengajarkan naturalisme yang anti-dualistik dalam hubungan dengan
distingsi jiwa-badan, Allah-dunia. Ernest Nagel memasukkan naturalisme ke dalam
suatu filsafat ilmu, John Randall Jr. menerapkannya ke dalam filsafat sejarah
dan agama, dan Stephen Pepper dalam filsafat tentang ilahi. Gerakan filsafat
lain di Amerika adalah filsafat realisme yang mengungkapkan bahwa segala
sesuatu tidak tergantung pada pengalaman manusia tentang mereka, tetapi harus
dilihat sebagaimana adanya tanpa adanya spekulasi dan idealisasi. Filsafat
realisme ini membelah menjadi dua, realisme kritis dan realisme baru. Realisme
baru menegaskan bahwa segala sesuatu dapat diinderai secara langsung, di mana
dunia ini adalah riil dan obyektif yang tidak akan berubah karena perubahan
pengetahuan manusia tentang obyek tersebut. Menurutnya, dunia di sekeliling
kita tidak berada dalam kesadaran kita sendiri, sedangkan kita hanya memiliki
data rasa dan gambaran-gambaran mental tentang dunia ini. Data rasa ini
menunjukkan watak dari obyek luar, dan akal yang mempersepsinya. Setelah Perang
Dunia II, di Amerika filsafat berkembang melalui pelbagai bidang ilmu dan
teknologi berbarengan dengan pelbagai gejolak dan perkembangan sosial di
dalamnya.
Bab ini menjelaskan juga tentang manfaat
filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Filsafat memperluas wawasan. Secara alamiah,
manusia memiliki rasa ingin tahu, yang rasa ingin tahu itu melahirkan berbagai
macam pertanyaan yang menuntut diperolehnya jawaban. Sebuah jawaban dari
pertanyaan bukan jawaban akhir, tetapi memunculkan jenis pertanyaan baru dan
lain daripada yang lain. Pada saat lain, jawaban yang sudah berbentuk
pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, yang nantinya juga
menerbitkan pertanyaan lain, karena pengetahuan itu sendiri memiliki sfat
praktis atau pragmatis. Untuk pengetahuan tersebut, filsafat yang terobjekkan
menyediakan lapangan filsafat yang sangat luas tanpa batas, yang memancar dari
realitas dan non-realitas.
2. Filsafat mengarahkan kepada kebenaran.
Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Filsafat, Plato, bahwa secara teoretis
kebijaksanaan dapat disamakan dengan kebenaran yang merupakan obyek pengetahuan
pertama dan utama bagi manusia. Segala bidang disiplin ilmu dan mata pelajaran
di dunia pendidikan selalu diajarkan untuk mencapai kebenaran. Jalur untuk
mencapai kebenaran adalah pemikiran, kecermatan memperhatikan dan refleksi
tentang hidup itu sendiri, dalam mengkorelasikan dirinya dengan peristiwa
realitas di dunia ini. Filsafat memberi patokan dan kaidah untuk berpikir
bijaksana dan kritis serta bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan manusia
lainnya. Filsafat mematangkan intelek dan daya pikir. Menurut John Henry
Newmann (1801-1890), orang yang pernah belajar filsafat cenderung lebih kuat
dan siap untuk mempelajari pengetahuan yang abstrak dan rumit.
3. Filsafat dan Pembentukan Sikap. Mempelajari
sesuatu ilmu terkait dengan penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata.
Tanpa itu, bisa saja pengetahuan ataupun ilmu itu akan tersimpan dalam khayal
dan bisa hilang karena lupa. Filsafat hanya dan akan berkembang melalui
refleksi terus menerus dalam hidup sehari-hari, dengan mengedepankan sikap
kerendahan hati, keluhuran budi, kebajikan pekerti, kesiapan berdialog, dan
yang sejenisnya.
4. Filsafat dan Perwujudan diri. Seluruh perjalanan
filsuf dalam berfilsafat selalu mendambakan akhir kajian berupa perwujudan
diri, dengan pribadi yang lebih matang dan bijak. Filsafat harus dilihat
sebagai karya seni, suatu estetika dalam upaya pembentukan diri manusia.
Sumber : Singgih Iswara. 2011. Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan. Jakarta: Cintya Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar