Rabu, 21 Desember 2016

Kebenaran dan Sikap Ilmiah


1.      Manusia dan kebenaran

Manusia memiliki sifat yang senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul dalam kehidupannya. Dalam mencari ilmu pengetahuan, manusia melakukan telaah yang mencakup 3 hal, antara lain 1) objek yang dikaji; 2) proses menemukan ilmu; dan 3) manfaat atau kegunaan ilmu tersebut. Untuk itu, manusia akan selalu berpikir, dengan berpikir akan muncul pertanyaan, dan dengan bertanya maka akan ditemukan jawaban yang mana jawaban tersebut adalah suatu kebenaran.
Menurut Ford (2006), kebenaran atau
truth dapat dibedakan atas 4 macam.

·         Kebenaran metafisik (T1). Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya (given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama. b. Kebenaran etik (T2). Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenara metafisik atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.

·         Kebenaran logika (T3). Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa 1+1= 2 maka secara logika dapat dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya, 1+1 ≠ 3, karena secara konsensus telah diterima demikian.

·         Kebenaran empirik (T4). Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik.

Dari uraian tersebut, dalam kajian filsafat imu yang menjadi fokus utama adalah kebenaran empirik (T4). Kebenaran empirik sering disebut sebagai kebenaran imiah. Namun, tentu saja dengan tidak mengesampingkan kebenaran lainnya.







2.      Teori Kebenaran

·         Teori korespondensi Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan teori. Adapun moto teori ini adalah “truth is fidelity to objective reality” (kebenaran setia/tunduk pada realitas objektif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah, bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa konsisten. Teori ini erat hubungannya dengan kebenaran empirik (T4).

·         Teori koherensi/konsistensi Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. Kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara pernyataan saat ini dan pernyataan terdahulu. Sumber kebenaran menurut teori ini adalah logika (manusia) yang secara inheren memiliki koherensi. Teori koheren bermuara pada kebenaran logis (T3).

·         Teori pragmatism Teori ini berpandangan bahwa kebenaran diukur dari kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan pengaruhnya memuaskan (satisfactory consequences). Kebenaran mengacu pada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.

Bila menurut Ford kebenaran ilmiah berhubungan dengan asas korespondensi, menurut Keraf dan Mikael (2011) menyatakan bahwa kebenaran ilmiah mempunyai sekurang-kurangnya tiga sifat dasar, yaitu rasional logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Suriasumantri (2003) menyatakan bahwa kebenaran adalah pernyataan tidak ragu. Hanya ada dua asas yang digunakan untuk berpikir secara ilmiah (kebenaran ilmiah) yaitu teori koherensi dan korespondensi. Sementara pragmatisme digunakan untuk pengetahuan alam yang berguna untuk menafsirkan gejala-gejala alam.


3.      Sikap ilmiah

Dalam mencari kebenaran ilmiah, seorang ilmuwan dituntut untuk melakukan sikap ilmiah dalam melakukan tugas ilmiah. Tugas ilmiah itu antara lain mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima, serta mengubah atau menambah pikiran ilmiah. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap adalah sekumpulan respons yang konsisten terhadap objek sosial. Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut “Attitude”, sedangkan istilah attitude sendiri berasal dari bahasa latin yakni “Aptus” yang berarti keadaan siap secara mental yang bersifat untuk melakukan kegiatan. Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Sikap-sikap ilmiah yang dimaksud sebagai berikut.






·         Sikap skeptic
Skeptis adalah menyangsikan setiap pernyataan ilmiah yang belum teruji kebenarannya.

·         Sikap ingin tahu
Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya.

·         Sikap kritis
Sikap kritis ini terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihankekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.


·         Sikap terbuka
Sikap terbuka ini terlihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai.



Sumber : Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu (2016). Bogor: PT Penerbit IPB Press

1 komentar: