ETNOGRAFI
Etnografi
merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama etnografi
adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan,
untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu, penelitian
etnografi melibatkan aktivitas belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir,
dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih
dari itu, etnografi belajar dari masyarakat.
Esensi
dari etnografi. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan
hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid.
Inti
dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari
kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut
terekspresikan secara langsung dalam bahasa; dan di antara makna yang diterima,
banyak yang di sampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan
perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam masyarakat, orang tetap menggunakan system
makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri
mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup.
Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka: dan etnografi selalu
mengimplikasikan teori kebudayaan.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan
didefinisikan dengan berbagai cara. Kita akan memulainya dengan suatu definisi
tipikal yang diusulkan oleh Marvin Harris, bahwa “konsep kebudayaan ditampakkan
dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, seperti ‘adat’ (custom),
atau ‘cara hidup’ masyarakat”.
Definisi
ini, walaupun untuk beberapa tujuan sangat membantu, mengaburkan perbedaan
penting antara sudut pandang orang luar dengan sudut pandang orang dalam. Baik
pola tingkah laku, adat, maupun pandangan hidup masyarakat, semuanya dapat
didefinisikan, diinterpretasikan, dan dideskripsikan dari berbagai perspektif.
Karena tujuan kita dalam etnografi adalah “untuk memahami sudut pandang
penduduk asli”, maka kita perlu mendefinisikan konsep kebudayaan dengan cara yang
merefleksikan tujuan ini.
Konsep
kebudayaan ini (sebagai suatu system symbol yang mempunyai makna) banyak
memiliki persamaan dengan pandangan interaksionalisme simbolik, suatu teori
yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna.
Interaksionisme simbolik berakar dari karya-karya ahli sosiologi seperti
Cooley, Mead, dan Thomas. Herbert Blumer, misalnya mengidentifikasikan tiga
premis sebagai landasan teori ini.
·
Premis pertama, “manusia melakukan
berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada
mereka. Contohnya: para anggota polisi dan kerumunan orang berinteraksi atas
dasar makna yang terkandung dalam berbagai hal bagi mereka.
Lokasi geografis, tipe orang, mobil polisi, gerakan polisi, tingkah laku wanita yang sedang sakit, dan berbagai aktivitas para penonton, semua merupakan simbol yang mempunyai makna khusus. Orang tidak bertindak terhadap berbagai hal ini, tetapi terhadap makna yang dikandungnya.
Lokasi geografis, tipe orang, mobil polisi, gerakan polisi, tingkah laku wanita yang sedang sakit, dan berbagai aktivitas para penonton, semua merupakan simbol yang mempunyai makna khusus. Orang tidak bertindak terhadap berbagai hal ini, tetapi terhadap makna yang dikandungnya.
·
Premis kedua yang mendasari
interaksionisme simbolik adalah, bahwa “makna berbagai hal itu berasal dari,
atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Contohnya: kebudayaan
sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Kerumunan
orang, melalui interaksi satu sama lain dan melalui hubungan dengan polisi pada
waktu yang lalu, kemudian memiliki definisi yang sama mengenai tingkah laku
polisi.
·
Premis ketiga dari interaksionisme
simbolik adalah, bahwa “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang
dihadapi orang tersebut. Baik kerumunan orang maupun para anggota polisi
bukanlah robot yang dikendalikan oleh kebudayaan mereka untuk bertindak
sebagaimana yang mereka lakukan.
Sumber: James P. Spradley.
Metode Etnografi (2015). Yogya: Tiara Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar