Rabu, 14 Desember 2016

Paradigma Tauhid


Tuhan Yang Maha Esa
            Menurut Ibn Taimiyah Ilah (Tuhan) adalah yang dipuja penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri dihadapan-nya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan diri padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta padanya.
Menurut Anwa Harjono ada tiga macam hukum petunjuk Al-Qur’an, yakni :
1.      Hukum yang mengatur alam semesta seluruhnya yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan, yang menjadi inti tauhid rububiyah.
2.      Hukum yang mengatur masyarakat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah, serta taat dan patut kepada syariat-Nya, dengan atau tanpa persetujuan manusia. Inilah yang menjadi inti tauhid uluhiyah.
3.      Hukum yang dibuat manusia dan berlaku untuk (mengatur) masyarakat manusia sendiri berdasarkan musyawarah sesuai maqoshid syariah. Inilah yang menjadi inti tauhid mulkiyah.

Visi Kemakmuran Tauhid Rububiyah
       Tauhid rububiyah merupakan sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran, ruang, waktu, dunia dan sejarah. Tauhid rububiyah menjadi landasan kosmologi Islam dan menciptakan prinsip-prinsip berikut.
       Pertama, Dualitas. Realitas meliputi dua kategori umum yaitu Tuhan (Pencipta) dan bukan-tuhan (ciptaan). Realitas pertama mempunyai satu anggota yaitu Allah yang bersifat mutlak dan Maha Kuasa. Sedangkan realitas kedua berupa tatanan  ruang dan waktu, pengalaman dan proses penciptaan, dan semesta, yang sepenuhnya tunduk pada ketentuan Tuhan.
          Kedua, Ideasionalitas. Hubungan antara dua struktur realitas pada dasarnya bersifat ideasional. Dasar pikirnya bahwa manusia memiliki kemampuan berpikir: potensi untuk memahami kehendak Tuhan baik secara langsung melalui pemahaman terhadap kehendak yang tersurat dalam firman-Nya maupun secara tidak langsung lewat pengamatan terhadap ciptaan-Nya.
      Ketiga, Teleologis. Hakikat kosmos bersifat teleologis, yakni bertujuan, terencana, atau didasarkan pada maksud-maksud tertentu Sang Pencipta.


Misi Pembebasan Tauhid Uluhiyah
            Tauhid Uluhiyah berintikan pada penegasan atas keesaan Allah dalam Dzat-Nya, terutama dalam aktivitas  ibadah, doa, nadzar, kokrban, berharap (raja’), takut (khauf), dan tawakkal. Tauhid uluhiyah merupakan landasan horison teologi Islam yang monotheistik.
            Wahdaniyah dalam ibadah ini menuntut dua hal: Pertama: Tidak menyembah dan meminta pertolongan selain kepada Allah, dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah.
Kedua: Menyembah Allah berdasarkan apa yang telah disyariatkan-Nya melalui teladan Rasulullah Saw.
            Nabi/rasul terdiri dari manusia jenis pria, ma’shum (tidak pernah berbuat dosa), dengan misi menyampaikan ajaran tauhid, dengan menggunakan bahasa kaumnya, dan wajib dipatuhi oleh ummatnya. Kita pantas mempercayai dan patuh kepada para nabi dan rasul, karena dalam diri mereka memiliki sifat wajib: shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran), dan fathanah (cerdas).
            Horison tauhid uluhiah membebaskan masyarakat manusia dari kultus individu terhadap Nabi, Rahib, dan lain-lain. Lebih lanjut tauhid uluhiah menjadi landasan perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan manusia (mustakbirin) terhadap manusia lainnya. Semua orang sama kedudukannya di hadapan Allah, sama di depan hukum, wajib berhukum dengan hukum Allah, dan taat dengan kontrak sosial yang disusun dan disepakati bersama.
            Pada umumnya menusia tergoda dalam lembah syirik, karena menyangka bahwa Jin, Iblis, atau setan dapat “mencuri” dan berbagi informasi mengenai “misteri” peristiwa ghaib.

Peradaban Tauhid Mulkiyah
            Tauhid mulkiyah berintikan pada ke-Esaan Allah dalam kekuasaan dan hukumnya. Seorang yang beriman bertekad untuk senantiasa menyelaraskan segala gerak langkah dan keinginanya sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam kitab suci, al-Qur’an. Ia juga berjanji untuk berhukum dengan hukum Allah, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an. Lebih lanjut dari kesadaran ini adalah usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan syari’at Allah di muka bumi dalam rangka mewujudkan keadilan sosial dalam kemakmuran universal.
            Tauhid mulkiyah merupakan landasan pembentukan tatanan sosial [masyarakat] Islam. Dalam tatanan sosial Islam, syri’at Islam tetap harus tegak walaupun tanpa Negara. Meskipun disadari bahwa Negara diperlukan dalam menegakkan syari’at. Misalnya, kewajiban zakat tetap berlaku dan harus ditunaikan oleh seorang muslim yang kaya walaupun tidak ada “Negara Islam” dengan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.  


Sumber : Fadlullah. Pembelajaran Transformatif PAI (2015). Jakarta: Hartomo Media Pustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar